Rabu, 29 September 2010

Belajar Dari Kesalahan

(Lukas 15:11-32)
Oleh: Joni Pardede
Pendahuluan
Tidak ada seorang pun di antara kita yang tidak pernah salah ketika mengambil sebuah keputusan. Kita cendrung bertindak dulu baru kemudian berpikir akibatnya adalah penyesalan. Ketika keputusan atau tindakan itu sudah kita lalui dan ternyata kita terlena di dalam kesenangan semata tetapi lama-kelamaan kemudian kehancuranlah yang terjadi apa yang akan kita lakukan? Satu hal yang harus kita ingat bahwa masih ada kesempatan untuk kita memperbaiki diri dari kesalahan yang telah kita perbuat. Dalam renungan kita saat ini kita akan belajar bagaimana anak bungsu yang salah melangkah akhirnya sadar dan bertobat. Pada kesempatan ini mari kita melihat proses yang dialami oleh si bungsu seperti berikut ini.

Hidup dalam keegoisan
Sebagai seorang anak yang baru beranjak dewasa, si bungsu mulai menimbulkan mencari jati diri. Ia ingin bebas dan itu berarti ia tidak mau dikekang oleh berbagai macam peraturan yang ada di rumahnya. Pribadinya yang egois membuat ia merasa selalu ingin menang. Itulah yang menyebabkan ia meminta warisan yang menjadi haknya secepatnya dibagikan (ay 12). Rasa sayang yang mendalam membuat sang ayah pun segera memenuhi keinginan si bungsu. Maka diberikanlah apa yang menjadi bagiannya. Jika kita melihat pada satu kebiasaan di dalam satu keluarga. Biasanya pembagian harta baru bisa dilakukan apabila orang tua sudah meninggal. Jadi tindakan yang dilakukan oleh si bungsu merupakan tindakan yang kurang ajar. Itu sama halnya menginginkan kematian orang tua secepat mungkin. Keegoisan si bungsu semakin terlihat ketika kemudian menjual semua harta yang sudah ia dapatkan dari ayahnya untuk hidup berfoya-foya dan bersenang-senang bersama dengan teman-temannya. Sampai kemudian hartanya habis dan tidak tersisa sedikitpun.
Apa yang pernah dialami oleh si bungsu mungkin pernah kita alami. Bahkan sifat egois itu sering melanda siapapun. Sehingga tidak jarang kita jumpai di manapun kita berada. Mengapa sering terjadi perselisihan di dalam keluarga? Salah satu penyebabnya adalah keegoisan. Bahkan sekarang terlalu sering kita membaca, melihat di televisi, atau bahkan kita melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang anak membunuh orang tua karena harta. Saudara yang dikasihi Tuhan saya yakin kita semua tidak mau hidup di dalam keegoisan. Tetapi untuk bebas dari keegoisan bukan hal yang mudah. Karena sifat dasar kita adalah manusia berdosa yang tidak pernah puas dan kecendrungan kita selalu ingin menang dan terdepan. Sehingga untuk mencapai hal itu, tidak jarang orang lain yang menjadi korban.
Tuhan pasti menginginkan kita meninggalkan sifat egois. Sebagai orang percaya kita senantiasa merindukan Tuhan mengubah hati dan pikiran kita setiap hari dari hal-hal yang tidak Ia inginkan. Masalahnya adalah maukah kita diubah oleh Tuhan. Tidak ada cara lain untuk lepas dari keegoisan kecuali hanya dengan meminta Tuhan mengubah hidup kita seturut kehendak-Nya.

Mengejar kesenangan duniawi
Harta terkadang membuat seseorang bisa lupa diri dan inilah yang dialami oleh si bungsu. Dengan harta yang dimilikinya ia hidup pesta pora bersama dengan teman-temannya. Sehingga nyaris tidak ada waktu tanpa hidup boros dan berfoya-foya (ay 13). Ia hanya tahu mengahbiskan harta tetapi tidak pernah berpikir betapa orangtuanya berjerih lelah untuk untuk menghidupi dirinya. Dan mengumpulkan harta demi kelangsungan hidupnya di masa mendatang. Akibatnya adalah ia tidak punya rasa bersalah dengan segala tindakannya memboroskan harta.
Saudara, jaman sekarang banyak orang hidup seperti si bungsu. Kesenangan duniawi menjadi impian banyak orang. Kita dapat melihat bagaimana narkoba menjadi sangat marak perkembangannya, dan itu terjadi dimana-mana dan sangat orang yang terjerumus di dalam kenikmatan narkoba. Tetapi akhirnya adalah kehancuran hidup secara perlahan-lahan. Belum lagi dengan miras, gemerlap dunia malam, kumpul kebo. Semua kesenangan yang demikian sudah menjadi hal yang tidak asing lagi bahkan sudah menjadi kebutuhan bagi orang yang sudah terjebak di dalamnya. Saudara yang dikasihi Tuhan apa yang kita kejar di dalam hidup ini? Ketika Tuhan memberkati hidup kita, apakah kita menggunakannya seperti yang dilakukan oleh si bungsu atau kita menggunakannya untuk mendukung pekerjaan Tuhan dan menolong sesama yang sedang berada dalam kesusahan.

Menyadari kesalahan
Setiap hari berpesta pora maka habislah semua harta si bungsu (ay 14) dan kemudian terjadilah kelaparan yang hebat sehingga banyak orang yang kekurangan makanan termasuk si bungsu. Seharusnya wajar saja jika seandainya teman-teman yang selama ini menemaninya dalam pesta pora menolong si bungsu. Tetapi rupanya mereka hanya menjadi teman ketika si bungsu masih banyak hartanya, dan sekarang hartanya sudah habis maka ia pun ditinggalkan. Penderitaan si bungsu mulai semakain terasa ketika ia tidak mempunyai makanan dan merasa sangat lapar. Akhirnya ia meutuskan untuk bekerja di sebuah peternakan babi (ay 15). Karena sudah sangat lapar ia pun akhirmya memakan makanan babi (ay 16). Orang-orang yang ada di situ tidak seorang pun yang memperdulikan dirinya. Penderitaan yang ia alami rupanya membuat si bungsu kemudian berpikir betapa sulitnya hidup terpisah dari orang tua. Ketika masih bersama orang tuanya ia tidak pernah kekurangan makanan, bahkan mungki ia tidak pernah bekerja. Bahkan orang-orang yang bekerja di rumah ayahnya tidak pernah kekurangan makanan. Ia kemudian menyadari betapa dalam kasih bapanya. Ia ingin kembali menikmati kasih bapanya, tetapi ia merasa tidak layak untuk menjadi anak lagi ia hanya ingin menjadi salah seorang upahan bapanya (17-18).
Saudara ketika kita mengalami berbagai macam kesulitan dan penderitaan hidup oleh karena keegoisan dan tindakan kita yang telah melupakan Tuhan. Ingat akan betapa dalamnya kasih Tuhan membuat kita segera bangkit dari setiap kegagalan. Hanya datang dengan hati yang hancur dan merasa diri tidak layak meminta ampun kepada-Nya dan berharap akan belas kasihan Tuhan itulah cara terbaik untuk bangkit.

Bangkit dari kegagalan
Ketika si bungsu sudah menyadari kesalahannya ia pun segera bangkit dan pulang ke rumah bapanya (ay 20). Kegigihan untuk bertahan hidup dan bebas dari keterpurukan membuat ia kembali menemukan semangat. Tidak perlu menunggu lebih lama dan mengulur waktu untuk mengakui kesalahan. Sikap tidak malu mengakui kesalahan itulah yang diperlihatkan si bungsu
Terkadang kita sering mengulur waktu untuk bangkit dari setiap kegagalan yang alami. Bahkan yang lebih parah adalah kita terkadang malu mengakui kesalahan dan kemudian mencari berbagai macam cara menutupi rasa malu tersebut. Si bungsu mengalami pembentukan karakter di dalam setiap masalah yang ia hadapi dan itu semua membuat ia semakin dewasa. Saudara ketika kita jatuh jangan pernah putus asa. Ingat bahwa masih ada kesempatan untuk kita bangkit dan memperbaiki diri. Ketika kita sudah sadar akan hal itu mari segera bangkit dan kembali kepada Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar